Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 29 Desember 2009

Sirsak sang Pembunuh Kanker


Soursop, buah dari pohon Graviola adalah pembunuh alami sel kanker yang ajaib dengan 10.000 kali lebih kuat dari pada terapi kemo. Tapi kenapa kita tidak tahu ?

Karena salah satu perusahaan Dunia merahasiakan penemuan riset
mengenai hal ini se-rapat2nya, mereka ingin agar dana riset yang
dikeluarkan sangat besar, selama bertahun-tahun, dapat kembali lebih
dulu plus keuntungan berlimpah dengan cara membuat pohon Graviola
Sintetis sebagai bahan baku obat dan obatnya djual kepasar Dunia.

Memprihatinkan, beberapa orang meninggal sia2, mengenaskan, karena
keganasan kanker, sedangkan perusahaan raksasa, pembuat obat dengan
omzet milyaran dollar menutup rapat2 rahasia keajaiban pohon
Graviola ini.

Pohonnya rendah, di Brazil dinamai Graviola, di Spanyol Guanabana, bahasa Inggrisnya Soursop. Di Indonesia, ya buah Sirsak.Buahnya agak besar, kulitnya berduri lunak, daging buah
berwarna putih, rasanya manis2 kecut/asam, dimakan dengan cara
membuka kulitnya atau dibuat jus.

Khasiat dari buah sirsak ini memberikan effek anti tumor/kanker yang
sangat kuat,dan terbukti secara medis menyembuhkan segala jenis
kanker.Selain menyembuhkan kanker, buah sirsak juga berfungsi
sebagai anti bakteri,anti jamur(fungi) ,effektive melawan berbagai
jenis parasit/cacing, menurunkan tekanan darah tinggi, depresi,
stress, dan menormalkan kembali sistim syaraf yang kurang baik.

Salah satu contoh betapa pentingnya keberadaan Health Sciences
Institute bagi orang2 Amerika adalah Institute ini membuka tabir
rahasia buah ajaib ini. Fakta yang mencengangkan adalah: Jauh
dipedalaman hutan Amazon, tumbuh pohon ajaib, yang akan
merubah cara berpikir anda, dokter anda, dan dunia mengenai proses
penyembuhan kanker dan harapan untuk bertahan hidup. T idak ada
yang bisa menjanjikan lebih dari hal ini, untuk masa2 yang akan
datang.

Riset membuktikan pohon ajaib dan buahnya ini bisa :

Menyerang sel kanker dengan aman dan effektive secara alami,
TANPA rasa mual, berat badan turun, rambut rontok, seperti yang
terjadi pada terapi kemo.

Melindungi sistim kekebalan tubuh dan mencegah dari infeksi
yang mematikan.

Pasien merasakan lebih kuat, lebih sehat selama proses
perawatan / penyembuhan.

Energi meningkat dan penampilan phisik membaik.

Sumber berita sangat mengejutkan ini berasal dari salah satu pabrik
obat terbesar di Amerika.Buah Graviola di-test di lebih dari 20
Laboratorium, sejak tahun 1970-an sampai beberapa tahun
berikutnya.Hasil Test dari ekstrak (sari) buah ini adalah :

Secara effektive memilih target dan membunuh sel jahat dari
12 type kanker yang berbeda, diantaranya kanker : Usus Besar, Payu
Dara, Prostat, Paru2, dan Pankreas.

Daya kerjanya 10.000 kali lebih kuat dalam memperlambat
pertumbuhan sel kanker dibandingkan dengan Adriamycin dan Terapi
Kemo yang biasa digunakan!

T idak seperti terapi kemo, sari buah ini secara selective
hanya memburu dan membunuh sel2 jahat dan TIDAK membahayakan/
membunuh sel2 sehat!

Riset telah dilakukan secara ekstensive pada pohon ajaib
ini,selama bertahun-tahun tapi kenapa kita tidak tahu apa-apa
mengenai hal ini? Jawabnya adalah : Begitu mudah kesehatan kita, kehidupan kita, dikendalikan oleh yang memiliki uang dan kekuasaan!

Salah satu perusahaan obat terbesar di Amerika dengan omzet
milyaran dollar melakukan riset luar biasa pada pohon Graviola yang
tumbuh dihutan Amazon ini.Ternyata beberapa bagian dari pohon ini :
kulit kayu,akar, daun, daging buah dan bijinya, selama berabad-abad
menjadi obat bagi suku Indian di Amerika Selatan untuk
menyembuhkan : sakit jantung, asma, masalah liver (hati) dan
rematik. Dengan bukti2 ilmiah yang minim, perusahaan mengucurkan
Dana dan Sumber Daya Manusia yang sangat besar guna melakukan riset
dan aneka test. Hasilnya sangat mencengangkan. Graviola secara
ilmiah terbukti sebagai mesin pembunuh sel kanker!

Tapi kisah Graviola hampir berakhir disini.Kenapa?

Dibawah Undang2 Federal, sumber bahan alami untuk obat DILARANG /
TIDAK BISA dipatentkan.

Perusahaan menghadapi masalah besar, berusaha sekuat tenaga dengan
biaya sangat besar untuk membuat sinthesa/kloning dari Graviola ini
agar bisa dipatentkan sehingga dana yang dikeluarkan untuk Riset dan
Aneka Test bisa kembali, dan bahkan meraup keuntungan besar.Tapi
usaha ini tidak berhasil. Graviola t id ak bisa di-kloning.Perusaha
an gigit jari setelah mengeluarkan dana milyaran dollar untuk Riset
dan Aneka Test.

Ketika mimpi untuk mendapatkan keuntungan besar ber-angsur2 memudar,
kegiatan riset dan test juga berhenti. Lebih parah lagi, perusahaan
menutup proyek ini dan memutuskan untuk TIDAK mempublikasikan hasil
riset ini.

Beruntunglah, ada salah seorang Ilmuwan dari Team Riset tidak tega
melihat kekejaman ini terjadi.Dengan mengorbankan karirnya, dia
menghubungi sebuah perusahaan yang biasa mengumpulkan bahan-bahan alami
dari hutan Amazon untuk pembuatan obat.

Ketika para pakar riset dari Health Sciences Institute mendengar
berita keajaiban Graviola, mereka mulai melakukan riset. Hasilnya
sangat mengejutkan. Graviola terbukti sebagai pohon pembunuh sel
kanker yang effektive.
The National Cancer Institute mulai melakukan riset ilmiah yang
pertama pada tahun 1976. Hasilnya membuktikan bahwa daun dan batang
kayu Graviola mampu menyerang dan menghancurkan sel2 jahat kanker.
Sayangnya hasil ini hanya untuk keperluan intern dan tidak dipublikasikan.

Sejak 1976, Graviola telah terbukti sebagai pembunuh sel kanker yang
luar biasa pada uji coba yang dilakukan oleh 20 Laboratorium
Independence yang berbeda.
Suatu studi yang dipublikasikan oleh the Journal of Natural
Products menyatakan bahwa studi yang dilakukan oleh Catholic
University di Korea Selatan, menyebutkan bahwa salah satu unsur
kimia yang terkandung d id alam Graviola,mampu memilih, membedakan
dan membunuh sel kanker Usus Besar dengan 10.000 kali lebih kuat
dibandingkan dengan Adriamycin dan Terapi Kemo!

Penemuan yang paling mencolok dari study Catholic University ini
adalah: Graviola bisa menyeleksi memillih dan membunuh hanya sel
jahat kanker, sedangkan sel yang sehat t id ak tersentuh/terganggu .
Graviola tidak seperti terapi kemo yang tidak bisa membedakan
sel kanker dan sel sehat, maka sel2 reproduksi (seperti lambung dan
rambut) dibunuh habis oleh Terapi Kemo, sehingga timbul efek
negative: rasa mual dan rambut rontok.

Sebuah studi di Purdue University membuktikan bahwa daun Graviola
mampu membunuh sel kanker secara effektive, terutama sel kanker:
Prostat, Pankreas, dan Paru-paru.

Setelah selama kurang lebih 7 tahun tiak ada berita mengenai
Graviola, akhirnya berita keajaiban ini pecah juga, melalui
informasi dari Lembaga-lembaga tersebut diatas.

Pasokan terbatas ekstrak Graviola yang di budi dayakan dan dipanen
oleh orang2 pribumi Brazil , kini bisa diperoleh di Amerika.

Kisah lengkap tentang Graviola, dimana memperolehnya, dan bagaimana
cara memanfaatkannya, dapat dijumpai dalam Beyond Chemotherapy: New
Cancer Killers, Safe as Mother milk, sebagai free special bonus
terbitan Health Sciences Institute.

Sekarang anda tahu manfaat buah sirsak yang luar biasa ini. Rasanya
manis-manis kecut menyegarkan. Buah alami 100% tanpa efek samping


http://www.herbalitas.com/buah-sirsak-pembunuh-kanker/#more-17

Rabu, 11 November 2009

KONTES INOVATOR MUDA 4

Teliti Terumbu Karang, Siswa Kupang Juara Kontes Inovator Muda
Margaretha L. Bunga Naen, Maria P Bunga Naen dan Gabriel J.P Ghewa, Juara I Kontes Inovator Muda 4 LIPI
    SABTU, 7 NOVEMBER 2009 | 20:29 WIB

    JAKARTA, KOMPAS.com - Pemanasan Global yang terjadi belakangan ini semakin mengkhawatirkan. Namun apakah pemanasan global juga mempengaruhi ekosistem yang ada di bawah air? 

    Berangkat pertanyaan itulah tiga tiga siswa dari SMA Negeri I Kupang Margaretha L. Bunga Naen, Maria P Bunga Naen dan Gabriel J.P Ghewa melakukan penelitian terhadap Pengaruh Efek Rumah Kaca Terhadap Aktivitas Fotosintesis Makroalga pada Sistem Eksosistem Terumbu Karang. 

    "Penelitian ini ingin mencari jawaban apa efek rumah kaca juga berpengaruh pada ekosistem terumbu karang," ucap Maria L Bunga Naen, mewakili teman-temannya, di Jakarta, Sabtu (7/11). 

    Dalam penelitiannya, Margaretha dan teman-temannya menggunakan metode eksperimen. Penelitian tersebut dilakukan di Pantai Teluk, Kupang, mulai 15-20 Juli 2009 lalu. 

    Alat yang mereka gunakan sangat sederhana, yaitu gelas ukur, baskom, termometer, neraca Ohaus dan kotak plastik. Setelah alat-alat lengkap, mereka menyiapkan Makroalga. Makroalga dimasukkan dalan gelas ukur yang telah diisi air laut, lalu letakan di tempat yang terkena sinar matahari. 

    "Lalu dilakukan pencatatan suhu pada pukul 07.00, 13.00 dan 18.00. Setelah melakukan analisa data dengan menggunaka hukum perbandingan volume," kata dia. 

    Dari eksperimen tersebut didapat bahwa kenaikan suhu udara mengganggu kehidupan terumbu karang. Kenaikan suhu udara juaga cenderung menyebabkan peningkatan pemanasan global. 

    "Semakin tinggi suhu udara harian maka aktivitas fotosintesis makrolaga pada ekosistem terumbu karang semakin berkurang. Volume gas CO2 yang diserap dan volume O2 yang dihasilkan kecil," ujar Margaretha, 

    Hal tersebut, lanjutnya,  harus diminimalisir dengan mencintai lingkungan. 
    Caranya adalah dengan bakti lingkungan dan menanam pohon. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, mengurangi penggunaan plastik dan mengurangi penggunaan sampah plastik. 

    Raih Penghargaan 
    Penelitian yang dilakukan tiga Siswa asal Kupang itu tidak sia-sia. Mereka mendapat penghargaan sebagai juara pertama Kontes Inovator Muda IV yang diselenggarakan Lembaga Penelitaian Indonesia (LIPI). 

    Ketiganya mengalahkan 167 peserta lain dari seluruh Indonesia dan berhak atas hadiah uang tunai sebesar Rp12.000.000.  Adapun, pemenang kedua pada Kontes Inovator Muda adalah siswa SMA Negeri Depansar yang meraih nilai 336 poin disusul pemenang ketiga  siswa SMA 11 Makasar dengan raihan 317,5 poin.


    RDI

    Editor: acandra 
    http://www.kompas.com/read/xml/2009/11/07/20293848/teliti.terumbu.karang.siswa.kupang.juara.kontes.inovator.muda

    Rabu, 10 Desember 2008

    Undangan

    UNDANGAN PEMUTARAN PERDANA FILM


    “PETAK DANUM ITAH” 

    (TANAH AIR KITA)

    COP / Centre for Orangutan Protection mengundang anda  untuk hadir :



    WAKTU: 

    Selasa, 16 Desember 2008
    Pukul 10:00-13:00

    TEMPAT:

    Erasmus Huis, Kedutaan Belanda
    Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3,
    Kuningan Jakarta 12950, 


    Deskripsi :
    Petak Danum Itah adalah sebuah film dokudrama yang dibuat dan diperankan
    oleh masyarakat Desa Tura yang menolak kehadiran Perkebunan Kelapa Sawit di
    daerah mereka.

    Mereka khawatir bila industri masuk dan membuka hutan yang selama ini
    menjadi tumpuan mereka hidup maka mereka akan kehilangan mata pencaharian
    mereka dari mulai mencari rotan, menyadap karet sampai sawah tadah hujan dan
    mencari ikan.

    Pembicara:

    - Daryatmo, Kepala Desa Tura, Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten
    Katingan, Kalimantan Tengah
    - Hardi Baktiantoro, Direktur Center for Orangutan Protection

    Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi:


    KONFIRMASI DAN INFORMASI: 

    Novi Hardianto, COP Habitat Program Manager di 0819817911, forest4@cop.or.id

    Sadewa, COP Habitat Program Assistant di 081334107925, sadewa@cop.or.id

    Hardi Baktiantoro, COP CEO di 08183338911, orangutanborneo@mac.or.id






    Perjalanan Menelusuri Jejak Orangutan di Hutan Belantikan


    Perjalanan Menelusuri Jejak Orangutan di Hutan Belantikan



     

    oleh Sadewa, Staf Program Habitat

    Centre for Orangutan Protection

     

     

    Menelusuri hutan Kalimantan adalah hal yang saya nanti-nantikan sejak saya bekerja di Centre for Orangutan Protection (COP) selama hampir 3 bulan. Rasa ingin tahu saya tentang kondisi hutan Kalimantan yang disebut-sebut sebagai jantung dunia dan juga rumah bagi orangutan dan ribuan spesies lainnya selalu mengganggu dalam pikiran. Pertengahan bulan Oktober adalah saatnya saya bersama Novi Hardianto, Manajer Program Habitat, melakukan survey habitat orangutan di daerah Kalimantan Tengah.

     

    Pada suatu pagi yang cerah, kami berangkat menggunakan mobil sewaan dengan tujuan Belantikan Raya, Lamandau. Saya dan Novi dibantu oleh dua orang lainnya, yaitu Frans dan Andi. Frans adalah sopir handal yang suka berpetualang, sedangkan Andi adalah saudara Frans yang diajak untuk membantu perjalanan ini.

     

    Di tengah perjalanan, saya menyaksikan sungai-sungai besar yang meluap setelah hujan deras sehari sebelumnya. Beberapa rumah penduduk di sekitar sungai tampak terendam banjir. Penduduk pun sepertinya telah terbiasa dengan seringnya banjir melanda daerah mereka. Saat langit mulai gelap, kami pun segera mencari tempat penginapan.

     

    Perjalanan kami lanjutkan setelah cukup beristirahat. Selama perjalanan ini saya menyaksikan betapa lajunya perindustrian telah menghabiskan ratusan ribu hektar hutan di Kalimantan Tengah. Dari atas jalanan menanjak ke arah bukit di daerah Runtu kami berhenti untuk memotret. Sejauh mata memandang yang saya lihat adalah kelapa sawit muda yang ditanam dengan sangat rapi seperti barisan. Kurang dari sepuluh tahun yang lalu daerah ini mungkin adalah hutan lebat yang ditumbuhi berbagai jenis pohon dan pastinya juga berbagai macam jenis satwa hidup di dalamnya.

     

    Semakin jauh masuk ke pedalaman semakin banyak perkebunan skelapa sawit yang kami lihat. Dari tinggi pohon dan lebatnya daun, diperkirakan perkebunan tersebut sudah berumur belasan tahun. Sekitar satu kilometer dari perkebunan sawit, beberapa pekerja menunggu truk-truk pengangkut lewat. Sesaat setelah truk itu berhenti, para pekerja sawit naik di bak belakang truk untuk diantarkan ke kebun sawit yang kami lewati tadi.

     

    Setelah melewati tiga desa kami sampai di sebuah pos penjagaan PT. Kalimantan Prima Coal (PT KPC) yang dijaga dua petugas. Kami pun turun dari kendaraan untuk meminta ijin, karena lokasi tujuan survey di Nanga Matu harus melintasi area konsesi perusahaan pertambangan itu. Seorang petugas berbadan tegap tidak mengijinkan kami masuk setelah Novi mengatakan kalau kami sedang melakukan survey orangutan. Petugas lain memberitahu kami dengan lebih ramah“, Ini adalah wilayah perusahaan, bukan jalan umum. Silahkan ambil jalur lain.” Petugas yang masih muda ini lalu menjelaskan jalan lain menuju Nanga Matu melalui Sei Palikodan.

     

    Kami pun akhirnya harus kembali untuk menuju Nanga Matu melaui jalan lain. Saat berjalan sekitar 5 kilometer, dari kejauhan nampak debu tebal berterbangan dari truk yang sedang menaiki tanjakan. Sopir kami berseru, “Itu truk pengangkut kayu logging!” Novi pun segera meminta Frans untuk mengejar truk itu agar kami bisa mengambil gambarnya dari dekat. Kamera sudah dalam pegangan, saya pun segera memotret ketika kami mendekati truk itu. Muatannya kayu-kayu berdiameter lebih dari satu meter dengan panjang mencapai lebih dari 10 meter.

     

    “Mungkin itu truk milik perusahaan penebangan di tepi sungai yang kita lalui tadi,” kata Frans. Ia menyebut nama seorang pengusaha yang cukup dikenal di Pangkalanbun, pemilik perusahaan tersebut. Setelah cukup memotret, sopir kami mengurangi laju mobil. Truk itu masih berjalan dan semakin menjauh.

     

    Di desa Bayat, kami berkenalan dengan seorang pemuda setempat di sebuah warung yang kami singgahi. Pemuda tersebut bernama Jackius, atau Ius panggilannya. Ia menjelaskan arah menuju ke Nangamtu setelah kami menanyakan dimana lokasi desa tersebut. Bahkan, ia pun bersedia mengantarkan kami, karena ia juga akan pulang ke kampungnya yang terletak tak jauh dari desa tujuan kami. Beruntung, kami akhirnya mendapatkan seorang penunjuk jalan.

     

    Oleh Ius kami disarankan untuk bermalam di camp PT Karda Traders, sebuah perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di Belantikan Hulu dan memiliki camp di desa Sei Palikodan. Seperti di area konsesi PT KPC, jika ingin mencapai desa berikutnya harus melewati pos penjagaan milik PT Karda Traders. Bedanya, di camp ini pos penjagaan dijaga oleh sekitar sepuluh anggota Brimob. Meski pos ini dijaga lebih banyak petugas, tapi kami lebih mudah mendapatkan ijin melintas. Malam itu kami menginap di camp  tersebut setelah  mendapatkan ijin dari pimpinan proyek.

     

    Keesokan paginya matahari tertutup mendung. Kami bangun dan mengamati hutan-hutan yang berada di sekeliling camp. Ternyata hutan itu masih cukup lebat. Kawasan ini hingga melewati 5 desa ke arah utara mendekati pegunungan Swachner masih merupakan kawasan hutan yang dihuni oleh berbagai macam jenis satwa diantaranya Owa, Tarsius, Rangkong, Kancil, dan juga Orangutan.

     

    Kami segera bergegas untuk segera melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat Ius memberitahu bahwa perjalanan ini nanti akan menempuh medan yang berat, karena jalan yang akan dilalui cukup licin setelah diguyur hujan beberapa hari yang lalu. Mobil Kijang Krista yang kami bawa juga tidak mendukung untuk kondisi medan yang kami lalui. Seperti yang dikhawatirkan, mobil kami sempat terperosok ke dalam lumpur hingga dua kali. Hingga sampai pada tanjakan sebelum masuk desa Nanga Matu mobil kami tidak sanggup naik karena jalan cukup licin dan saat itu hujan mulai turun. Siang itu kami memutuskan kembali ke desa Benuatan untuk menyewa perahu penduduk dan meneruskan perjalanan lewat jalur sungai.

     

    Hutan di sepanjang jalur sungai Belantikan yang kami susuri adalah hutan primer yang masih terjaga, meskipun di beberapa titik kami temui beberapa lahan terbuka yang telah dibakar oleh penduduk setempat untuk dijadikan ladang. Selama menyusuri sungai itu kami juga melihat beberapa jenis satwa yang hidup di sekitar sungai, seperti Rangkong, Elang Bondol, Bekakak, dan Kera Macaca.

     

    Kami sampai di Nanga Matu setelah menempuh hampir dua jam perjalanan. Desa Nanga Matu adalah sebuah perkampungan kecil yang dihuni 39 kepala keluarga. Di desa ini terdapat sebuah base camp milik Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin). Ius mengantarkan kami ke camp Yayorin tersebut untuk singgah. Kami mendapatkan banyak informasi dan wawasan tentang pemberdayaan masyarakat dari sharing dengan staf Yayorin.

     

    Berdasarkan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) 2004, populasi orangutan di kawasan Belantikan ini diperkirakan sekitar 5000 ekor. Dengan luas hutan yang masih tersedia, maka populasi orangutan di daerah ini masih bisa bertahan. Namun, dari pengamatan dan interview masyarakat yang kami lakukan di beberapa wilayah, untuk tahun-tahun ke depan populasi ini dapat terus menurun. Hutan di daerah ini masih terancam oleh praktik pembabatan pohon dan pembukaan lahan.

     

    Warga yang kami temui di desa Kahingai mengatakan bahwa beberapa kali perusahaan kelapa sawit ingin membuka lahan di daerah ini, tapi warga selalu menolak tawaran tersebut. “Selama bertahun-tahun kami masih mempertahankan hutan di sini dari perusahaan sawit. Kami tidak pernah menerima tawaran mereka, karena perusahaan sawit selalu menginginkan lahan yang luas. Hutan kami bisa habis,” kata Kibung, warga setempat.

     

    Kibung juga menambahkan bahwa PT KPC yang berada di desa Bayat saat ini telah beroperasi, padahal perusahaan pertambangan baru tersebut masih berijin survey. “Kami melihat alat-alat produksi PT KPC telah bekerja. Mereka juga telah mengeluarkan limbah yang dibuang ke sungai. Setahu kami perusahaan belum mendapat ijin produksi,” ujarnya.

     

    Siang itu kami memutuskan untuk meninggalkan Belantikan. Kami telah mendapatkan cukup informasi dari survey yang kami lakukan untuk mengetahui kondisi habitat orangutan beserta ancamannya di daerah tersebut. Keesokan harinya kami harus meneruskan survey di lokasi lainnya, yaitu Tumbang Telaken dan Taman Nasional Sebangau.

     

    Kamis, 04 Desember 2008

    Perburuan Paus di lamalera


    Laporan Investigasi Perburuan Paus di Desa Lamalera Pulau Lembata

    Dan Desa Lamakera Pulau Solor

    Nusa Tenggara Timur

     

     

    1. Sekilas Tentang Perburuan

     

    Lamalera terletak di pantai selatan Pulau Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat ini Pulau lembata sudah menjadi Kabupaten sendiri yang sebelumnya gabung dengan Kabupaten Flores Timur. Dihadapannya terbentang laut sawu yang cukup ganas. Sudah sejak dulu masyarakat Lamalera terkenal sebagai masyarakat nelayan, dan penangkap ikan paus secara tradisional. Secara administratif desa Lamalera berada di wilayah Kecamatan Wulandoni, di perkampungan tersebut lamalera terbagi menjadi dua desa yaitu Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.000 jiwa.

     

    Dulunya kampung Lamalera merupakan kampung terpencil, terisolasi dan jauh dari keramaian, saat ini sudah mulai ada pembangunan PLN dan pembuatan jalan aspal untuk memudahkan alat tranportasi. Kampung – kampung lamalera pun dibangun diatas batu cadas dan karang tepat di kaki atau di lereng bukit atau gunung. Desa Lamalera dengan panorama alam pegunungan yang sedikit gersang serta deruhnya ombak pantai selatan, topografinnya yang bergunung – gunung dan bebatuan dan disertai dengan kemiringan yang cukup terjal yang menantang hidup dan kehidupan orang lamalera.

     

    Sepertinya sangat tidak wajar nelayan bila masyarakat desa Lamalera lebih memilih berburu ikan –ikan besar yang sebenarnya adalah termasuk kedalam jenis – jenis “Mamalia Laut” (Cetacean) yang besar dan sangat beresiko tinggi bila dibandingkan menangkap ikan lainnya, tapi itulah kenyataan yang terjadi dengan kondisi alam, topografi, serta bekal kemampuan yang digariskan secara turun menurun oleh nenek moyang mereka. Sehingga membuat mereka terbisa dan pasrah akan bahaya yang selalu dihadapi untuk menyambung hidup dengan berburu paus. 

    Sebelum musim berburu, desa Lamalera memiliki tradisi atau budaya penangkapan paus yang setiap tahunnya diadakan uipacara adat sekaligus misa untuk memohon berkah dari sang leluhur serta mengenang para arwah nenek moyang mereka yang gugur di medan bahari bergelut dengan sang paus. Upacara dan Misa  atau biasa di sebut “LEFA” dilaksanakan setiap tanggal  1 Mei.

     

    Secara resminya penangkapan ikan paus terjadi pada bulan Mei – November, namun tak jarang juga  bulan Desember – April nelayan lamalera tetap melakukan penangkapan paus ketika paus tersebut melewati perairan laut Sawu. Hal ini bukan bearti melanggar adat yang sudah di tetapkan, dimana pada bulan – bulan tersebut orang lamalera menamakan bulan perburuan atau yang di sebut dengan Baleo.

    Musim Lefa ini merupakan waktu khusus untuk melaut, serta berburu ikan paus dan ikan –ikan besar kainnya seperti lumba-lumba, hiu, pari. Disaat musim inilah masyarakat Lamalera beramai-ramai pergi melaut. Menurut mereka di musim – musim inilah ikan – ikan besar sering muncul dan bermain menampakan dirinya di permukaan Laut Sawu.

     

    Masyarakat Lamalera pada prinsipnya untuk berburu menggunakan cara tradisional, untuk menangkap Paus atau biasa di sebut “Kotoklemah” (Sperm Whale/Physeter macrocephalus) menggualakan perahu layar yang menurut bahasa daerah Lamalera disebut Peledang. Perahu layar tersebut di lengkapai dengan alat tikam/ harpun tangan yang disebut “Tempuling”, tali panjang (tali leo), yang ikatkan pada mata tombak (tempuling), dan ditambah bambu sepanjang 4 meter sebagai alat bantu tikam. Dalam satu peledang biasanya di muati oleh 7 Crew dan orang yang khusus memegang peranan dalam menikam paus adalah juru tikam yang disebut Balafaing (Lamafa).

     

    Peledang didisain tanpa ada penutup agar para awak kapal dapat memantau ikan yang muncul kepermukaan. Setelah sudah terlihat maka peledadang akan mendekati ikan tersebut dan juru tikam angkat tempuling dan siap untuk menancapkan tempuling tersebut tepat kebagian jantung paus tersebut, biasanya tiakaman sampai 4 kali atau bahkan lebih. Ketika tikaman pertama ini merupakan saat–saat yang paling berbahaya bagi para awak peledang karena paus akan berontak dan mengamuk, tak jarang perahu  peledang akan di bawa oleh paus ke dalam laut atau terbalik balik bahkan dihancurkan oleh oleh kepala atau ekor paus.

     

    Setelah paus sudah mulai lemah dan tidak berdaya lagi untuk lebih mempercepat kematian maka ada bagian yang di robek oleh pisau tajam agar darah cepat keluar dan paus tersebut cepat mati. Setelah terlihat mati  maka paus tersebut di tarik/ditonda  oleh perahu - perahu tersebut sampai kepantai lamalera, dan siap untuk dipotong dan dibagi-bagi. Pembagian daging paus sudah ditentukan sejak jaman nenek moyang mereka.

     

    Semua bagian paus adalah penting dan terpakai semua antara lain adalah daging, kulit, lemak, darah, dan tulang. Ketika ada satu ekor paus ditikam maka semua masyarakat Lamalera akan mendapatkan jatah semua, walaupun  tidak ikut kelaut, karena bisa dibarter dengan ikan lain atau hasil bumi.

     

    1. Fakta Lain Yang Terjadi

     

    Beberapa ketentuan yang sudah ditetapkan  oleh nenek moyang mereka dalam memburu paus yang perlu diperhatikan adalah jumlah, ukuran jenis kelamin serta umur. Menuru nenek moyang mereka paus yang tidak boleh ditangkap adalah paus yang sedang kawin, anak, dan betina yang sedang hamil. Tapi nampaknya saat ini masyarakat sudah tidak menghirauakan aturan-aturan adat yang sudah di tetapkan oleh nenk moyang mereka, apalagi ditambah oleh kemajuan teknologi yaitu adanya peledang yang menggunakan mesin boat 15 PK, dan  perahu/jonson (matros) yang mencari ikan – ikan besar dengan mesin boat 15 PK mereka juga memantau keberadaan paus di Laut Sawu, ketika mereka melihat maka jonson akan memberi tanda kepada jonson lain atau masyarakat didarat sebagai tanda “Baleo”.

    Jenis paus yang ditikam oleh masyarakat Lamalera adalah paus sperma / sperm whale (Physeter macrocephalus) atau biasa disebut orang Lamalera adalah “kotoklemah”. Mereka sangat pantang sekali untuk menikam paus – paus lain, seperti jenis “kelaru” (Minke whale/Balaenoptera acutorostrata) yang juga merupakan salah satu jenis paus yang biasa ditikam oleh masyarakat Lamakera di Pulau Solor, kerena munurut sejarahnya klaru pernah menolong nenek moyang mereka tapi apa yang terjadi ikan tersebut saat ini juga mereka tikam jika melewati laut sawu.

    Memang unik dan sedikit aneh karena masyarakat Lamalera mempunyai kebiasaan menikam semua jenis ikan, dan sangat jarang sekali yang mencari ikan – ikan kecil, paling – paling ikan terbang. Salah satu orang yang berprofesi sebagai guru SLTP di desa Lamalera, beliau mencatat jenis dan jumlah ikan yang ditikam masyarakat Lamalara sejak tahun 1996 sampai sekarang. Adapun jenis – jenis ikan yang biasa ditikam masyarakat Lamalera antara lain  :

     

    1. Paus / Kotoklemah / Paus sperma / Sperm Whale / Physeter macrocephalus
    2. Temu Bela / Lumba-lumba besar / Pilot Whale / Globicephala melaena
    3. Seguni / Ikan ganas / Killer Whale / Orcinus orca
    4. Ikan Mera /
    5. Kelaru / Minke Whale / Blaenoptera acutorostrata
    6. Iyu Bodo/Iyu Kiko / Whale Shark
    7. Temu Blure / Lumba-lumba kecil / Dolphins
    8. Moku / Pari kuning
    9. Bou / Pari kecil
    10. Blele / Pari besar
    11. Kebeku / Ikan matahari / mola - mola
    12. Ikan Raja / Tuna
    13. Kea / Penyu

     

    Dari catatan tersebut ternyata masyarkat Lamalera menikam 6 jenis paus yang melewati perairan laut sawu. Untuk panjang paus yang mereka tikam sekitar 6 – 13 meter. Bagian yang paling utama dimanfaatkan dari Paus adalah adalah :

    1. Daging, warna daging paus adalah kemerahan, layaknya jenis mamalia lain. Biasanya daging – daging tersebut diawetkan dengan bantuan sinar matahari setelah dibubuhi garam, ketika daging paus benar – benar kering dapat disimpan sampai 1 tahun lebih.
    2. Kulit, paus mempunyai ketebalan berkisar 10 – 20 Cm juga diawetkan dengan dijemur di bawah panasnya matahari
    3. Minyak, diperoleh dari bagian kulit dan lemak otak biasanya ketika kulit di jemur maka minyak akan menetes sedikit demi sedikit, kemudian ditampung. Biasanya minyak yang diperoleh dari proses penjemuran kulit berwarna hitam dan bau tidak sedap, tapi jika minyak diperoleh dari hasil memanaskan dengan api diletakkan diatas kuali dan ditambah sedikit rempah – rempah akan terlihat kuning jernih seperti minyak kelapa dan bau harum. Minyak paus dimanfaatkan sebagai bahan bakar lampu pelita yang tidak menimbulkan efek polusi seperti lampu lentera bahan bakar minyak tanah, bisa juga dimanfaatka sebagai minyak goreng bahkan sebagai obat.
    4. Tulang paus dulu dimanfaatkan sebagai tempat untuk menumbuk jagung, tapi saat ini banyak yang memanfaatkan sebagai suvenir seperti dibuat asbak dan miniatur kotoklemah dan di jual kewisatawan yang berkunjung ke Lamalera.
    5. Gigi, biasa dimanfaatkan sebagai cincin atau bandl kalung karena menurut kepercayaan sebagian masyarakat Lamalera gigi seguni / killer whale bisa di gunakan sebagai penangkal ilmu hitam / black magic.
    6. Darah paus juga dimanfaatkan masyarakat lamalera sebagai bahan campuran untuk mengolah masakan daging paus.

     

    Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 tercatat sekitar 1084 ekor cetacean yang di tikam oleh masyarakat Lamalera, dengan perbandingan paus sekitar 489 ekor dan lumba – lumba sekitar 595 ekor.

     

    1. Mengintip Sisi Perdagangan Bagaian-bagian Paus

     

    Penangkapan paus secara tradisional di Lamalera pertama kali dicatat pada abat ke-7. Kapal penangkap paus dari Amerika dan Eropa datang ke kawasan ini pada abad ke-18 (Barnes 1980). Samapai saat ini penangkapan paus secara tradisional masih berlangsung. Data yang tersedia menunjukkan  bahwa terjadi suatu penurunan hasil tangkap paus dari tahun ke tahun. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui sebabnya secara jelas, yang pasti hal ini dapat di sebabkan adanya penurunan populasi paus dikawasan ini atau karena jumlah peledang sudah menurun atau kelompok paus bermigrasi dengan jalur lain ?. Hasil tangkapan terbesar terjadi pada tahun 1969, ketika itu tertangkap sekitar 59 ekor paus sperma/kotoklemah.

     

    Lamalera merupakan salah satu desa terpencil  yang sudah banyak dikenal dan diekspos  oleh dunia luar tentang perburuan paus. Awal tahun 1980 suatu project yang di biayai oleh FAO mencoba untuk mengenalkan perburuan paus secara modern dengan menggunakan kapal yg lebih tinggi kecepatanya serta senjata untuk membunuh paus. Proyek ini dilakuakn karena berbagai halangan dan masalah yang tidak dapat diatasi dengan hanya menyediakan teknik modern bagi penduduk desa, tetapi juga karena pandangan dan pendapat penduduk lokal, misalnya memasarkan daging paus adalah tidak mudah karena penduduk adalah nelayan subsisten, serta ekonomi pasar belum masuk kedalam cara berpikir mereka (Barnes 1984).

     

    Saat ini jumlah pemburu paus menurun, salah satu alasanya adalah ketersediaan kesempatan kerja selain berburu paus, anak-anak muda pun sudah mulai enggan belajar menikam ikan. Ini juga merupakan peluang yang baik bagi para paus untuk meneruskan kelangsungan hidupnya.

     

    Dua tahun kebelakang ada orang berkebangsaan Korea ( Mr.Mon ) yang sudah melirik peluang bisnis daging paus dan lumba-lumba sebagai bahan konsumsi. Menurut penuturan Kepala desa, orang tersebut sebelumnya sudah memiliki restoran daging paus di Korea, tapi karena ada larangan maka restoran tersebut di tutup, di sudah lama di Jakarta dan memiliki istri orang Jawa. Rencara baru orang tersebut adalah ia akan membuar restoran khusus orang Korean dengan menu spesial yaitu daging paus dan lumba-lumba. Bulan Mei 2005 beliau sudah akan melakukan kontrak pembelian daging paus dan lumba – lumba  +  sekitar 4 ton atau bahkan lebih dengan harga Rp. 5000 – Rp. 10.000,- per kilogramnya. Masyarakat sempat tergiur dengan proyek tersebut, tapi melihat kondisi penangkapan paus tahun ini baru 1 ekor, maka untuk sementara kontrak tersebut diputus dahulu, tapi untuk sementara itu orang Korea tersebut pun pulang ke Jakarta untuk mengurus ijin, dan akan membawa mobil es untuk siap menampung daging-daging paus dan lumba-lumba tersebut.

     

    Hal tersebut merupakan ancaman yang cukup serius jika hal tersebut benar-benar terjadi, karena dengan begitu akan semakin memacu perburuan paus dan lumba-lumba secara besar-besaran lagi. Sampai saat ini belum  diketahui populasi paus dan lumba – lumba di dunia secara pasti, karena paus merupakan salah satu hewan “High Migratory” (migrasi panjang) seperti penyu.

    Sementara bagian lain yang sudah ada peminatnya adalah tulang – tulang paus  baru sekitar dua tahun kebelakang oleh orang Ende di beli dengan harga Rp. 5000- Rp.7000,- per Kg kegunaanya pun belum jelas. Sedang untuk minyak dijual berkisar Rp.20.000 – Rp. 100.000 per botol 600 ml harga tergantung sasaran pembeli. Tulang yang dimanfaatkan sebagai suvenir antar lain asbak dan miniatur paus dijual berkisar Rp. 40.000 – Rp. 200.000,- .Untuk gigi paus yang utuh sekitar Rp. 5000 – Rp 100.000, jika dalam bentuk cincin seharga Rp. 100.000,-

     

    Bahkan karena tradisi penangkapan paus ini merupakan satu objek tontonan yang menarik perhatian orang banyak, sehingga babyak para wisatawan terutama wisman yang datang ke desa Lamalera hanya untuk melihat penangkapan paus tersebut, bahkan ada yang ikut dalam perahu untuk dapat melihat dari dekat proses penangkapan paus tersebut. Sehingga saat ini atas dasar kesepakatan warga bahwa wisatawan yang berkunjung ke Lamalera dikenai daftar pembayaran Shooting antar lain sekitar Rp 3 juta untuk melihat pengkapan paus, dan ada daftar lain untu jenis – jenis ikan yang ditikam.

     

    1. Sekilas Tentang Desa Lamakera

     

    Desa Lamakera terletak di Pulau Solor, yang masih masuk kedalam Kabupaten Flores Timur, sebagian besar warga Lamakera beragama muslim. Menurut sejarah nya memang ada keterkaitan antara desa Lamalera dengan desa Lamakera, yaitu ada bebrapa suku di Lamalera yang pindah ke Lamakera dan menetap disini. Memang desa lamakera tidak setenar dengan desa Lamalera, tapi sudah ada catatat bahwa desa ini pun juga mempunyai tradisi  berburu paus jenis “Kelaru”, tetapi desa tersebut tidak ada keharusan untuk berburu paus. Tidak seperti di lamalera yang hidupnya sangat bergantung sekali dengan kehadiran kotoklemah sebagai sumber makan utama. Masyakat Lamakera dari dulu sudah terkenal sebagai masyarakat pedagang, seperti berdagang ikan, garam dan parang karena di sana terdapat banyak pandai besi.

     

    Tangakap utama masyarakat Lamakera adak jenis – jenis ikan pari, tuna, tongkol, cakalang dll, tapi tatkala para nelayan sedang mencari ikan melihat kelaru maka akan mereka tombak juga dengan alat sama seperti tempuling. Ketika ada nelayan yang menombak paus kelaru biasanya sebagian dagingnya dijual di Pasar Weiwerang Pulau Adonara dengan harga Rp. 100.000,- per 1 m3 . Letak desa Lamakera memang sedikit strategis yaitu daerah pertemuan arus, dan umtuk menuju laut Sawu tidak begitu jauh. Dalam satu tahun tangkapan paus kelaru sekitar 4 – 10 ekor.

     

     

     

    Sumber bacaan :

     

    1.Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku, Kathryn A. Monk dkk  

     

     

     

     

     

     

     

    Lampiran  tabel :

     

     

    Data Penangkapan Ikan Besar (Cetacean) di Desa Lamalera

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    Tahun

    Temu Bela

    Temu Blure

    Iyu Kiko

    Ikan Mera

    Seguni

    Kotok lemah

     

     

     

     

     

     

     

    1996

    3

    3

    2

     

     

    5

    1997

    8

    8

    10

     

     

    10

    1998

    2

    2

    24

     

     

    23

    1999

    76

    6

     

     

     

    6

    2000

    23

    97

     

     

     

    14

    2001

    18

    113

     

     

     

    35

    2002

    31

    115

     

     

     

    27

    2003

    42

    22

    7

     

    5

    19

    2004

    29

    135

    13

     

    1

    13

    2005

    30

    94

    8

    2

    2

    1

    Jumlah

    262

    595

    64

    2

    8

    153

     

     

     

     

     

     

     

    Jumlah Total

    1084