Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Minggu, 13 Juli 2008

BANGSA PERUSAK HUTAN

Senin, 14 Juli 2008

Bangsa Perusak Hutan

Oleh Agus Wibowo


Belum lama ini, Indonesia berhasil memecahkan rekor Guinnes World Record (2007), sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Sebuah prestasi yang tentunya menimbulkan keprihatinan kita. Gelar itu diberikan bukan tanpa dasar. Menurut data yang berhasil dihimpun GWR (2007), tingkat laju penghancuran hutan (deforestasi) di Indonesia mencapai 1,871 juta hektar setiap tahun, atau 51 kilometer persegi per hari. Jika dibandingkan 43 negara lain, laju deforestasi Indonesia menduduki peringkat pertama, disusul oleh Zimbabwe (1,7 persen), Myanmar (1,4 persen), dan Brazil yang hanya 0,6 persen



Pertanyaanya kemudian, siapa pemicu laju deforestasi hingga separah itu? Jika dilihat dari modusnya yang begitu sporadis, tentunya ada sebuah mekanisme atau sistem raksasa yang melegalkannya. Dengan kata lain, jika hanya rakyat biasa (baca: maling kelas teri), tidak akan mampu menimbulkan kerusakan secepat itu.


Menurut Indonesian Center for Environmental Law (ICEL, 2007), ternyata beberapa kebijakan pemerintahlah yang menjadi pemicu deforestasi tersebut. Misalnya, Undang-undang (UU) No.26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.30/2007 tentang Energi, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Peraturan Pemerintah (PP) No. 59/2007 tentang Panas Bumi, PP No. 58/2007 tentang Perubahan Atas PP 35/2002 tentang Dana Reboisasi, PP 33/2007 dan PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.


Beberapa kebijakan tersebut, kenyataannya justru memfasilitasi para pemilik modal untuk mengeksploitasi hutan secara besar-besaran. Dampaknya bukan hanya rusaknya kawasan hutan beserta penopang ekologisnya, tetapi rakyat dan negara dirugikan. Menurut temuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Greenomics Indonesia (2008), kerugian yang diderita tersebut sebesar Rp 589,3 trilyun per tahun.


Kerugian itu terbagi menjadi tiga bagian, yakni Rp 170,2 trilyun untuk kerugian kayu, Rp 320,6 trilyun akibat hancurnya ekologi, serta kenaikan inflasi Rp 88,5 trilyun per tahun. Ini artinya, jumlah kerugian akibat kebijakan alih fungsi hutan, jauh lebih besar ketimbang devisa yang diperoleh negara yang hanya Rp 80 trilyun. Jika alih fungsi hutan terus berlanjut, diramalkan kerugian yang akan diterima Indonesia 3,5 kali lebih besar dibandingkan yang terjadi sekarang.


Tanpa merasa bersalah, pemerintah justru menerbitkan PP No. 2/2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Alih-alih, PP ini justru menjadi rekomendasi komersialisasi hutan lindung dalam bentuk baru. Pasalnya, pungutan yang diambil dari kegiatan tambang (PNBP) hanya Rp 3 juta per hektar per tahun, atau sekitar hanya Rp 120 hingga Rp 300 per meter dari kegiatan tambang tersebut. Artinya, dengan uang receh Rp 1.000, kita sudah bisa untuk menyewa satu meter persegi hutan lindung kita selama setahun.


Siapa yang bakal menanggung dampak kebijakan pemerintah tersebut? Jawabannya pasti, rakyat akar rumput (grassroots). Banjir, tanah longsor, dan kekeringan akan silih berganti melanda. Terutama di Pulau Jawa yang kini hanya tersisa hutan seluas 19.828 km2, atau kurang dari 15 persen luas daratan. Belum timbulnya konflik horizontal maupun vertikal. Misalnya, konflik di Aceh, Papua, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya. Konflik yang timbul tersebut, jauh melampaui isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Inti masalahnya, lebih terkait dengan politik dan dampak marginalisasi akibat kebijakan pembangunan terhadap suku asli, termasuk kebijakan transmigrasi dan konsesi pertambangan dan hak penggunaan hutan.



Revisi Kebijakan


Berbagai kebijakan lingkungan yang dibuat secara gegabah, menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah merealisasikan visi dan misinya. Presiden Yudhoyono (SBY) sendiri, seakan melupakan janjinya dalam kampanye Capres 2004, untuk memimpin sendiri operasi pemberantasan pembalakan liar. Nyatanya, SBY justru menciptakan sistem pengadilan yang tidak sensitif terhadap deforestasi, dan terlalu mengedepankan kebenaran formal-prosedural, ketimbang penggalian keadilan substansial.


Mestinya, SBY konsisten dengan janjinya, karena terkait erat dengan kredibilitas yang bersangkutan. Kata-kata, kalimat, atau pernyataan yang keluar dari mulut seorang pejabat, apalagi setingkat presiden, pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang sudah pasti dinantikan perwujudannya oleh rakyat. Oleh karena itu, seorang pejabat tidak boleh mudah dan boros mengeluarkan kata-kata manis berupa janji, juga akan menjadi ukuran apakah yang bersangkutan bertindak konsisten dan dapat dipercaya atau tidak.


Sudah saatnya, pemerintah melakukan langkah-langkah strategis guna memperbaiki citra buruk Indonesia sebagai bangsa perusak lingkungan. Langkah strategis tersebut di antaranya pertama, melakukan timbang-ulang, analisis dampak lingkungan, dan jika perlu merevisi berbagai kebijakan yang mengarah pada perusakan hutan. Misalnya, UU No.24/2007, UU No.26/2007 dan sebagainya.


Kedua, pemerintah menindak tegas para mafia elite yang mempermulus terjadinya pembalakan hutan secara besar-besaran, maupun maling hutan kelas teri. Mereka harus diperlakukan dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, secara jujur, adil, transparan dan bebas dari KKN. Tidak ada diskriminasi hukum antara golongan elite (termasuk elite politik) dan rakyat biasa. Selain itu, pemerintah juga harus membenahi hukum lingkungan yang ada saat ini. Sebab, selain belum bisa menangani persoalan lingkungan, hukum lingkungan tersebut sangat prosedural dan pro-ekonomi.


Ketiga, pemerintah perlu menata ulang dan merehabilitasi kawasan hutan secara berkesinambungan dengan memberdayakan masyarakat. Misalnya melalui konservasi hutan desa. Adapun lahan-lahan yang diperuntukkan hutan desa ini dapat berupa bantaran sungai, tepian kampung, jalan poros desa, dan pengalihan sebagian tanah bengkok desa. Carik/sekretaris desa yang biasanya memiliki 2-3 ha tanah bengkok, harus merelakan sebagian tanah bengkoknya (minimal satu hektar) untuk ditanami tanaman hutan. Hal ini karena para carik sudah mendapat gaji sebagaimana pegawai negeri lainnya.


Pemerintah beserta seluruh jajarannya, perlu bekerja sinergis. Artinya, semua lembaga itu bekerja sama dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Pada akhirnya, langkah kongkrit pemerintah untuk merevisi berbagai kebijakan lingkungan tersebut, menunjukkan komitmennya mengharumkan nama bangsa Indonesia di mata dunia dan mengabdi kepada rakyat. Semoga.



Penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarya

Tidak ada komentar: