Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 08 Juli 2008

Hutan Lindung Disewakan Rp 120-rp 300 Per Meter



Jakarta, Kompas - Hanya dua bulan seusai menjadi tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim dan di tengah rentetan bencana ekologis, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengizinkan pembukaan hutan untuk pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi, energi, dan jalan tol dengan tarif sewa sangat murah. Alih fungsi hutan produksi dan hutan lindung itu hanya dikenai tarif Rp 1,2 juta per hektar per tahun hingga Rp 3 juta per hektar per tahun, atau Rp 120 per meter hingga Rp 300 per meter.

Butir-butir peraturan pemerintah itu ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Februari dengan nama Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.

”Kebijakan menyewakan hutan begitu murah itu sangat sembrono,” kata ahli kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Hariadi Kartodihardjo ketika dihubungi di Balikpapan, Selasa (19/2).

Menurut Hariadi, PP tersebut cacat hukum karena aturan ini hanya memuat tentang tarif, bukan izin pembabatan hutan lindung.

”Kalau PP ini dipakai untuk membabat hutan, jelas bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2004 tentang Penambangan di Hutan Lindung. UU yang menyebutkan hanya 14 perusahaan yang boleh menambang di hutan lindung,” kata Hariadi.

Namun, menurut Hariadi, DKN belum menentukan sikap apakah akan meminta pencabutan atau revisi peraturan pemerintah tersebut. ”Kami masih perlu membahas lebih jauh,” katanya.

Selain cacat hukum, lanjut Hariadi, peraturan tersebut tidak komprehensif. Contohnya, PP tidak mengatur subyek pemilik hak atas kayu komersial yang ada di dalam hutan. PP juga tidak mematok tarif alias Rp 0 (nol) atas penggunaan hutan bersifat nonkomersial (Pasal 4).

”Sifat nonkomersial bukan berarti meniadakan risiko atau dampak negatif terhadap hutan lindung atau produksi,” kata Hariadi, yang juga mantan Deputi Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH).

Kesepakatan bersama

Secara terpisah, Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan Achmad Fauzi Mas’ud membantah pemerintah menetapkan nilai kompensasi yang terlalu rendah untuk pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan nonkehutanan.

Menurut Fauzi, nilai tersebut merupakan hasil perhitungan yang disepakati tim penyusun PP dari berbagai departemen, misalnya Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Keuangan, dan departemen terkait lainnya.

”Perbandingan nilai itu sangat debatable. Tetapi, bagi pemerintah, kompensasi ini lebih baik jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang justru tidak menguntungkan sama sekali,” kata Fauzi.

Selama ini pemerintah mensyaratkan investor yang meminjam pakai kawasan hutan lindung untuk kegiatan nonkehutanan mengganti seluas dua kali lahan yang dipakai. Namun, faktanya, areal pengganti tersebut sulit terealisasi karena Departemen Kehutanan juga mulai membatasi pengalihan status kawasan hutan.

Tak masuk akal

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan mengaku tak bisa memahami alasan pemerintah mengeluarkan PP itu. ”Sangat aneh dan tak masuk akal ketika hutan lindung yang tak ternilai harganya ternyata dihargai lebih murah dari sepotong pisang goreng,” kata Pengampanye Hutan Walhi Rully Syumanda.

Harga sewa Rp 120 per meter pun tak rasional karena tertutupi dengan harga pohon di atasnya jika ditebang dan kayunya dijual.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah menyebutkan, keputusan pemerintah tersebut menghina akal sehat dan sama sekali tak dapat dipahami. Keluarnya PP dinilai memperjelas posisi pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak memihak keselamatan warga dan pelestarian lingkungan.

Catatan Sawit Watch, laju kerusakan hutan sepanjang tahun 2005-2006 mencapai 2,76 juta hektar. Ribuan orang meninggal dan lainnya menjadi pengungsi karena bencana lingkungan yang disebabkan oleh kerusakan di bagian hulu, seperti banjir dan tanah longsor. ”Bayangkan apa yang akan terjadi di kawasan hilir akibat PP itu. Namun, tampaknya pemerintah kurang peduli dan lebih mengejar pendapatan finansial,” kata Rully.

160 titik

Data yang disampaikan Walhi, peraturan pemerintah itu akan berimplikasi langsung pada pembukaan sekitar 160 lokasi baru pertambangan di kawasan hutan pada 26 provinsi. ”Sekitar itulah jumlah konsesi pertambangan yang menunggu untuk beroperasi di atas kawasan hutan,” kata Rully.

Dampak lain, sektor lain seperti perkebunan akan meminta hak yang sama, yakni lahan hutan untuk bisnis yang disewakan sangat murah.

Menanggapi PP itu, sejumlah LSM akan mengajukan dua kemungkinan, uji materiil (judicial review) atau tinjauan eksekutif yang berujung pada pencabutan PP. Keputusan itu paling lambat akan diputuskan Maret 2008 mendatang. (GSA/BRO)




Rabu, 20 Februari 2008


Tidak ada komentar: