Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 08 Juli 2008

Musim Semi Usaha Sawit

Musim Semi Usaha Sawit

Ahmad Arif





Musim semi pengusaha sawit telah tiba, seiring terus naiknya harga
komoditas ini. Namun, lonjakan harga sawit tak mengubah hidup jutaan buruh
kebun yang dililit kemiskinan. Ekspansi sawit juga menyisakan banyak
masalah lingkungan dan konflik berkepanjangan dengan masyarakat lokal.
Lantas, siapa yang benar-benar diuntungkan terkait kenaikan harga sawit
ini?

Rizal (52) benar-benar bisa tersenyum lega. Petani plasma dari Dusun Teluk
Kijing III, Desa Teluk Kijing, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin,
Sumatera Selatan, ini merasakan lonjakan penghasilan dari lahan kelapa
sawitnya seluas 8 hektar.

”Harga sawit di sini Rp 1.723 per kilogram. Ini harga tertinggi sejak 21
tahun menanam sawit,” kata dia.

Dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 1 juta per hektar (ha), setelah
dipotong biaya pupuk dan tenaga kerja, Rizal bisa memperoleh pendapatan Rp
8 juta per bulan. Saat panen puncak, pendapatan Rizal bisa dua kali lipat.

Dusun Teluk Kijing III memang bergairah. Rumah-rumah tembok baru
bermunculan, menggantikan rumah kayu jatah dari PT Perkebunan Nusantara
(PN) VII yang dibagikan awal 1980-an. ”Hampir tak ada lagi rumah kayu di
sini. Setiap petani sawit juga punya sepeda motor, bahkan sebagian punya
mobil,” tambah Rizal.

Namun, bagi Makmur Maryanto (40), Ketua Koperasi Plasma Desa Sule,
Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten Muara Enim, keuntungan yang dinikmati
petani sawit plasma belum seberapa. ”Harga memang naik, tapi seharusnya
bisa lebih tinggi lagi. Selama ini penentuan harga sawit masih didikte
pengusaha CPO dan pemerintah,” kata dia.

Apalagi, tambahnya, petani kecil menghadapi banyak masalah. Misalnya,
kesulitan pupuk dan kurangnya pabrik pengolahan kelapa sawit (PPKS),
sehingga petani sering kesulitan menjual hasil panen saat panen puncak.

Petani harus pasrah menunggu hingga tiga hari sebelum kelapa sawit mereka
bisa masuk ke PPKS. Akibatnya, hasil panen menyusut hingga 2 kuintal per 6
ton. ”Perusahaan lebih mengutamakan sawit tanaman
mereka sendiri. Pernah
panen kami membusuk sebelum masuk PPKS sehingga akhirnya tak bisa dijual,”
kata Novianto (36), Ketua Kelompok Tani UPT II Desa Sule.

Ekspansi sawit

Bagaimanapun, lonjakan harga sawit saat ini memang menggiurkan, terutama
bagi pemodal besar yang mampu membangun sendiri PPKS. Tak heran, pemodal
besar—baik perorangan maupun perusahaan—berlomba membeli lahan dan menanam
sawit dengan skala ratusan hektar hingga ratusan ribu hektar.

Sawit Watch menyebutkan, Indonesia telah membuka areal sekitar 18 juta
hektar untuk perkebunan sawit dan baru 6 juta hektar lahan yang telah
ditanami. Kini, rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit terbesar di
dunia seluas 1,8 juta hektar tengah digagas di jantung Kalimantan.

Atas nama pembukaan perkebunan sawit, pemodal besar mencaplok lahan
masyarakat adat dan masyarakat lokal. Deretan panjang konflik antara
pengusaha sawit dan masyarakat adat mengemuka. Belum lagi kerusakan
lingkungan yang terjadi karena karena sebagian lahan sawit dikonversi dari
hutan alam.

”Lahan keluarga kami seluas 15 hektar dirampas untuk dijadikan kebun sawit
pada tahun 1980-an lalu. Tak ada ganti rugi, kami tak berani melawan
karena perusahaan menggunakan tentara,” tutur Kailani (68), warga Dusun
Teluk Kijing III, Kecamatan Lais, Musi Banyuasin.

Tak dinikmati buruh

Di sisi lain, lonjakan harga sawit ternyata tidak diikuti peningkatan
kesejahteraan hidup para buruh. Yan (45) dan Amigos (29), dua buruh
pemetik sawit asal Flores yang bekerja di perusahaan sawit swasta di Desa
Ujan Mas, Kecamatan Gunung Megang, Muara Enim, hidup dalam kemiskinan.

Menurut Amigos, buruh di perkebunan kelapa sawit dijerat aturan kerja yang
kelewat berat. Seorang buruh petik sawit tidak akan mendapat upah harian
jika melakukan kesalahan. Jenis kesalahan itu, misalnya, buah sawit di
pohon tidak dipetik secara tuntas, menjatuhkan remah-remah sawit di tanah
sekitar pohon, dan lupa membersihkan daun pohon sawit yang sudah layu.

Yan menuturkan pengalaman pahitnya saat terjadi panen raya, April lalu.
Waktu itu, dia berhasil memanen 20 anca buah sawit selama sehari. Anca
adalah satuan dan indikator jumlah kelapa sawit yang dipetik. Dengan hasil
itu, seharusnya dia bisa mendapatkan upah Rp 300.000. ”Tapi, hanya karena
kesalahan kecil, yakni menyisakan satu buah sawit di pohon, upah saya hari
itu hangus semuanya,” keluh Yan.

Sebagian besar buruh tinggal di rumah panggung dan gubuk di sekitar
perkebunan sawit. Mereka harus hidup tanpa memiliki fasilitas listrik,
jauh dari pelayanan kesehatan, maupun pendidikan untuk anak-anak.

Lokasi tempat tinggal mereka jauh di tengah hutan. Sedikitnya butuh waktu
tiga jam atau menempuh jarak lebih dari 30 kilometer untuk bisa sampai ke
permukiman terdekat. Keterasingan ini diperparah oleh kondisi jalan tanah
yang tak bisa dilalui saat musim hujan.

Bicara buruh kebun, berarti bicara soal kemelaratan yang terus dipelihara
di tengah ”keuntungan besar” para pengusaha perkebunan, bahkan sejak
perkebunan di Sumatera Timur—sekarang Sumatera Utara—di buka tahun 1860.
Ann Laura Stoler dalam buku Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk
Perkebunan Sumatera 1870-1979 menyebutkan, para pengusaha mencari buruh
mereka ke desa-desa miskin di Jawa pada awal abad ke-19 untuk dijadikan
kuli. Para kuli harus bekerja tidak dibayar dalam waktu tertentu, biasanya
tiga tahun. Tidak bekerja adalah pelanggaran kontrak, maka buruh dikenai
sanksi pidana (poenale sanctie).

Buruh tinggal di pondok-pondok di tengah kebun dan sulit keluar.
Perputaran uang hanya ada di dalam kebun. Judi dan hiburan dalam kebun
menjadi hal biasa untuk menyedot dana pekerja agar tidak bisa keluar dari
kebun. Ichwan Azhari, sejarawan dari Universitas Negeri Medan, mengatakan
bahwa pengelola kebun mencetak uangnya sendiri. Uang baru bisa ditukar
jika buruh hendak keluar kebun. ”Seperti negara dalam negara,” katanya.

Setelah 63 tahun Indonesia merdeka, situasinya ternyata belum juga banyak
berubah. ”Beginilah keadaan kami, perumahan yang kami tempati bocor semua.
Kalau hujan, kami sibuk nadahi (menampung) air,” tutur Wasimin (47), kerani penerima buah PTPN II di Afdeling II Kebon Melati, Kecamatan
Pegajahan, Serdang Bedagai.

Setelah menjadi kerani, ia mendapat gaji Rp 805.000 per bulan ditambah
beras 30 kilogram. Ia juga mendapat rumah pondokan beratap seng lantai
plester dengan dua kamar.

Kenaikan harga komoditas perkebunan, terutama crude palm oil (CPO), belum
pernah ia nikmati. ”Saya dengar harga sawit sekarang Rp 1.600 per
kilogram. Kalau harga naik, semestinya kesejahteraan kami juga naik.
Kondisi saat ini benar-benar sulit,” kata bapak tiga anak itu.

Gajinya hanya cukup untuk makan dan terseok-seok untuk untuk pendidikan
dasar dan menengah anak-anaknya. ”Apalagi untuk memperbaiki rumah,” tutur
Wasimi, yang bertanggung jawab atas 75 hektar lahan panenan tiap hari atau
500 hektar per minggu itu.

Wasimin adalah salah satu potret hidup buruh perkebunan yang kondisinya
hingga kini masih saja kembang kempis. Ia mendedikasikan hidupnya untuk
kebun, namun kebun tidak cukup menghidupinya. (ONI/WSI/KEN)






Sabtu, 10 Mei 2008

Tidak ada komentar: