Orangutan Menghitung Tahun
TEMPO Interaktif, JAKARTA: -- Tayangan video itu sangat pendek, tapi sudah cukup membuat pilu. Judulnya: Sawit Berdarah 2. Isinya, sebidang hutan di Kalimantan Tengah yang menjadi gersang dan orangutan di sana terlihat bingung, berjalan ke sana-kemari, tak jelas.
Orangutan, cuma seekor, itu jelas kehilangan kawanan dan pepohonannya. Yang tersisa untuknya hanya beberapa tegakan pohon muda, itu pun miskin daun dan percabangan. Begitu miskin dan langkanya hingga terik matahari dan gersang lahan mampu mengepungnya.
Namun, di batang-batang itulah kini si orangutan bergelantungan. Miris sekali, sampai akhirnya tayangan video memperlihatkan beberapa pria menolongnya: ia ditangkap, dipindahkan ke kandang, ditandai dengan chip, lalu dilepas ke kawasan yang dianggap lebih rimbun.
"Orangutan telah kehilangan habitat dan sumber makanannya," begitu kata Hardi Baktiantoro, Direktur Eksekutif Centre for Orangutan Protection (COP), ketika tayangan berakhir. "Orangutan lalu hanya bisa makan tunas-tunas kelapa sawit dan sejak itu orangutan menjadi hama yang harus dibunuh."
Begitulah orangutan yang hidup di hutan di luar batas-batas kawasan konservasi harus menerima nasibnya. Pembukaan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit memaksa sejumlah orangutan harus memilih pergi atau mati di tempat. Ternyata pilihan kedualah yang banyak ditemukan investigasi COP di Kalimantan Tengah, sebuah provinsi yang saat ini memiliki populasi orangutan terbesar di dunia.
Hasil investigasi yang menyatakan bahwa sejumlah orangutan akan punah lebih cepat daripada yang diperkirakan diumumkan kemarin. "Tidak perlu menunggu 2015, seperti menurut hasil perhitungan Population and Habitat Viability Assessment 2004, tapi tiga bahkan dua tahun lagi orangutan di alam akan punah," ujar Hardi.
Investigasi lapangan yang dilakukan Hardi dan kawan-kawannya di COP menunjukkan bahwa 242 perusahaan perkebunan sawit yang ada di Kalimantan Tengah rata-rata masih membabat hutan dengan mengorbankan orangutan. Perusahaan itu termasuk mereka yang tergabung dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil, seperti Wilmar serta IOI dan Agro Group dari Malaysia.
Padahal, kata Hardi, "Sudah ditetapkan sejak November 2005 bahwa penanaman baru tidak seharusnya menggusur hutan primer atau area yang memiliki satu atau lebih nilai konservasi yang tinggi." Orangutan adalah satu contoh nilai konservasi itu.
Hardi mencontohkan, survei yang dilakukannya setahun lalu ke cagar alam di Bukit Sapathawung. Di sana kabarnya populasi orangutan mencapai 500 ekor. Nyatanya, setelah masuk ke sana, Hardi hanya mendapati dua ekor.
Itu belum seberapa dibandingkan dengan yang ditemukan di area konsesi yang disiapkan untuk perkebunan sawit oleh beberapa perusahaan. "Kami sering mendapati kuburan massal orangutan," kata Novi Hardianto, Koordinator Program untuk Permasalahan Hutan, lembaga yang sama.
Kalaupun masih ada di muka tanah, Novi menambahkan, hanya jasadnya yang hangus terbakar. Atau kalaupun masih hidup, orangutan terantai dan penuh luka. Bahkan ada yang disantap pekerja setempat.
Sayang, baik Hardi maupun Novi mengungkapkan bahwa jeritan pilu orangutan itu dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat, apalagi daerah. "Kematian orangutan dianggap sebagai pengorbanan yang memang diperlukan dan mereka lebih senang mengeksploitasi daripada melestarikan orangutan," kata Hardi.
Darori, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Departemen Kehutanan, yang dihubungi terpisah, memang meragukan kesimpulan hasil investigasi itu. Menurut dia, hutan alam tidak akan dikonversi lebih banyak lagi untuk kebutuhan lain di luar sektor kehutanan, seperti kebun sawit. "Jadi saya yakin orangutan tidak akan punah dalam tiga tahun ke depan," kata Darori dalam pesan pendeknya. l wuragil
Jumat, 09 Mei 2008
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar