Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Selasa, 08 Juli 2008

Orangutan Menghitung Tahun

Orangutan Menghitung Tahun



TEMPO Interaktif, JAKARTA: -- Tayangan video itu sangat pendek, tapi sudah
cukup membuat pilu. Judulnya: Sawit Berdarah 2. Isinya, sebidang hutan di
Kalimantan Tengah yang menjadi gersang dan orangutan di sana terlihat
bingung, berjalan ke sana-kemari, tak jelas.

Orangutan, cuma seekor, itu jelas kehilangan kawanan dan pepohonannya.
Yang tersisa untuknya hanya beberapa tegakan pohon muda, itu pun miskin
daun dan percabangan. Begitu miskin dan langkanya hingga terik matahari
dan gersang lahan mampu mengepungnya.

Namun, di batang-batang itulah kini si orangutan bergelantungan. Miris
sekali, sampai akhirnya tayangan video memperlihatkan beberapa pria
menolongnya: ia ditangkap, dipindahkan ke kandang, ditandai dengan chip,
lalu dilepas ke kawasan yang dianggap lebih rimbun.

"Orangutan telah kehilangan habitat dan sumber makanannya," begitu kata
Hardi Baktiantoro, Direktur Eksekutif Centre for Orangutan Protection
(COP), ketika tayangan berakhir. "Orangutan lalu hanya bisa makan
tunas-tunas kelapa sawit dan sejak itu orangutan menjadi hama yang harus
dibunuh."

Begitulah orangutan yang hidup di hutan di luar batas-batas kawasan
konservasi harus menerima nasibnya. Pembukaan hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit memaksa sejumlah orangutan harus memilih pergi atau mati di
tempat. Ternyata pilihan kedualah yang banyak ditemukan investigasi COP di
Kalimantan Tengah, sebuah provinsi yang saat ini memiliki populasi
orangutan terbesar di dunia.

Hasil investigasi yang menyatakan bahwa sejumlah orangutan akan punah
lebih cepat daripada yang diperkirakan diumumkan kemarin. "Tidak perlu
menunggu 2015, seperti menurut hasil perhitungan Population and Habitat
Viability Assessment 2004, tapi tiga bahkan dua tahun lagi orangutan di
alam akan punah," ujar Hardi.

Investigasi lapangan yang dilakukan Hardi dan kawan-kawannya di COP
menunjukkan bahwa 242 perusahaan perkebunan sawit yang ada di Kalimantan
Tengah rata-rata masih membabat hutan dengan mengorbankan orangutan.
Perusahaan itu termasuk mereka yang tergabung dalam Roundtable on
Sustainable Palm Oil, seperti Wilmar serta IOI dan Agro Group dari
Malaysia.

Padahal, kata Hardi, "Sudah ditetapkan sejak November 2005 bahwa penanaman
baru tidak seharusnya menggusur hutan primer atau area yang memiliki satu
atau lebih nilai konservasi yang tinggi." Orangutan adalah satu contoh
nilai konservasi itu.

Hardi mencontohkan, survei yang dilakukannya setahun lalu ke cagar alam di
Bukit Sapathawung. Di sana kabarnya populasi orangutan mencapai 500 ekor.
Nyatanya, setelah masuk ke sana, Hardi hanya mendapati dua ekor.

Itu belum seberapa dibandingkan dengan yang ditemukan di area konsesi yang
disiapkan untuk perkebunan sawit oleh beberapa perusahaan. "Kami sering
mendapati kuburan massal orangutan," kata Novi Hardianto, Koordinator
Program untuk Permasalahan Hutan, lembaga yang sama.

Kalaupun masih ada di muka tanah, Novi menambahkan, hanya jasadnya yang
hangus terbakar. Atau kalaupun masih hidup, orangutan terantai dan penuh
luka. Bahkan ada yang disantap pekerja setempat.

Sayang, baik Hardi maupun Novi mengungkapkan bahwa jeritan pilu orangutan
itu dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat, apalagi daerah.
"Kematian orangutan dianggap sebagai pengorbanan yang memang diperlukan
dan mereka lebih senang mengeksploitasi daripada melestarikan orangutan,"
kata Hardi.

Darori, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di
Departemen Kehutanan, yang dihubungi terpisah, memang meragukan kesimpulan
hasil investigasi itu. Menurut dia, hutan alam tidak akan dikonversi lebih
banyak lagi untuk kebutuhan lain di luar sektor kehutanan, seperti kebun
sawit. "Jadi saya yakin orangutan tidak akan punah dalam tiga tahun ke
depan," kata Darori dalam pesan pendeknya. l wuragil





Jumat, 09 Mei 2008


Tidak ada komentar: